Resensi : Novel KING

Senin, 29 Maret 2010


Judul : KING
Penulis : Iwok Abqary
Penerbit : Gradien Mediatama
Tahun : 2009
Genre : Novel Anak
Tebal : 152 Halaman
ISBN : 978-602-826-029-9
Jenis Cover : Soft Cover
Text Bahasa : Indonesia

KING bermuasal dari nama seorang juara bulu tangkis yang berjaya pada tahun 1970-an. Novel, dan juga filmnya, tidak mengetengahkan kisah hidup atlet kelahiran Kudus yang tersohor dengan jumping smash-nya tersebut. Semangat juang dan prestasinyalah yang menjadi saripati cerita, merasuk ke dalam hati dan pikiran seorang ayah kala melihat potensi pada putra semata wayangnya. Guntur, demikian nama bocah yang beranjak remaja itu, harus rela menerima perlakuan tangan besi ayahnya, Pak Tejo, yang sebentar-sebentar menyebut nama King. Tak bisa dipungkiri, bakatnya terlalu cemerlang untuk dibiarkan begitu saja. Terlepas dari keterbatasan Guntur dan lingkungannya, terutama Pak Tejo yang mencari nafkah dengan menjadi pemungut bulu angsa, banyak pihak menunjukkan kepedulian terhadap ayah-anak ini. Bahkan Raden, sahabat karib Guntur, nekat melakukan banyak hal yang dianggap membantu seperti menukar pemukul kasur Michelle dengan raket bekas ketika raket Guntur tidak lagi layak pakai.
Latar yang relatif jarang ditengok masyarakat, yakni desa Jampit di Banyuwangi, merupakan kekuatan tersendiri cerita novel ini. Di tengah gempuran hingar-bingar program televisi yang menjanjikan mimpi indah mulai dari aneka iklan produk teknologi sampai yang ‘sepele’ seperti makanan impor, KING justru memaparkan betapa Pak Tejo harus melepaskan benda segi empat yang telah lama menghuni rumah demi memuluskan cita-cita tanpa menanggung beban malu akibat terlalu sering dibantu. Melalui karakter Michelle, pembaca KING yang masih tergolong anak-anak dan pra remaja diajak menilik warna lain kehidupan yang tak selalu cerah. Menariknya lagi, konflik berlandaskan persaingan antara Guntur dan Arya tidak dieksploitasi berlebihan sehingga terbilang proporsional untuk kondisi anak-anak.
Lumrah apabila profil ibu Guntur, yang entah mengapa kerap meletupkan amarah Pak Tejo jika putranya mengungkit-ngungkit, tidak dikupas terlalu banyak mengingat novel ini ditujukan untuk konsumen anak. Demikian pula ihwal ibu Michelle yang tidak diberi porsi terlalu banyak dalam cerita. Dihiasi foto-foto hitam putih yang dicuplik dari sejumlah adegan film, KING memperkaya pemahaman tentang makna sebuah pencapaian yang bukan semata berorientasi hasil. Tidak menjadi masalah bila kita memutuskan untuk menonton filmnya atau menyimak bukunya lebih dahulu. Sebuah karya fiksi yang perlu bagi peminat baca, bukan melulu untuk mengetahui apakah buku dan filmnya sama-sama mencerahkan dan menghibur, tetapi juga menyuburkan kembali rasa cinta pada tanah air, antara lain terhadap bulu tangkis yang sekarang ini tengah meredup.

Kelebihan :

Pengarang menciptakan karakter dalam sosok masing-masing yang tidak bisa dibedakan mana yang lebih pantas disebut sebagai tokoh utama. Di sini benar-benar terasa adanya tokoh utama yang memiliki kedudukan sama sebagai perannya masing-masing. Menyadarkan kita bahwa manusia dalam kedudukannya sendiri-sendiri yang sebenarnya sedang melakoni peran penting dalam kehidupan nyata.

Kekurangan :

Pilihan penulis dalam penempatan setting dan kegiatan pendukung dalam novel terasa kurang tepat. Alih-alih menyebutkan secara jelas kota atau negara terjadinya peristiwa dalam novel, sejak awal penulis hanya menyebutkan tempat-tempat semu. Jadi tidak terlihat jelas keberagaman budaya atau mayoritas budaya penduduk yang ada di daerah tempat tinggal tokoh tersebut. Beda dengan filmnya.

Widya Asri Wulandari
21208285
2 EB 15

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut